Dalil Gamblang Selamatan 7 Hari, 40 Hari, 100
Hari dan Seterusnya
Ngaji.web.id - Budaya
selamatan setelah hari kematian seseorang dengan tahlilan dan walimahan—baik
dalam 7 hari, 40 hari, 100 hari atau 1000 hari—adalah salah satu budaya
masyarakat Nahdhiyyin di Indonesia yang sangat diingkari oleh kaum Wahhabi dan
yang sefaham dengannya serta dituduh sebagai budaya bid’ah dan sesat.
Berbagai buku yang
bermuatan kritik dan hinaan terhadap budaya tersebut banyak ditulis oleh
orang-orang menisbatkan dirinya penganut faham salaf atau Wahhabi. Mereka juga
mengatakan dan memberi bukti tuduhannya bahwa budaya tersebut adalah warisan
budaya agama Hindu, terbukti dengan diadakannya konggres yang dilakukan oleh
petinggi-petinggi umat Hindu se-Asia pada tahun 2006 di Lumajang, Jawa Timur.
Dan salah satu point pembahasannya adalah membicarakan tentang ungkapan syukur
atas keberhasilan menyebarkan budaya acara-acara setelah kematian seperti 7
hari, 40 hari, 100 hari dan 1000 hari. (Lihat buku Mantan Kyai NU Menggugat
Tahlilan, Istighatsahan dan Ziarah Para Wali, karangan H. Mahrus Ali )
Berikut ini, akan kami
kupas hadits dan dalil tentang melaksanakan budaya di atas. Jawaban tentang
masalah ini kami ambil dari kitab Qurrah al-’Ain bi Fatawi Isma’il Zain
al-Yamani halaman 175 cetakan Maktabah al-Barakah dan kitab al-Hawi lil Fatawi
karya al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthi juz 2 halaman 179 cetakan Darul Kutub, Bairut.
Syaikh Isma’il Zain
al-Yamani menulis sebagai berikut (kami kutib secara garis besar):
Dalam Sunan Abu Dawud hadits nomer 2894
dituliskan:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلاَءِ أَخْبَرَنَا ابْنُ
إِدْرِيسَ أَخْبَرَنَا عَاصِمُ بْنُ كُلَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ رَجُلٍ مِنْ
اْلأَنْصَارِ قَالَخَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فِي جَنَازَةٍ فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ
عَلَى الْقَبْرِ يُوصِي الْحَافِرَ أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رِجْلَيْهِ أَوْسِعْ مِنْ
قِبَلِ رَأْسِهِ فَلَمَّا رَجَعَ اسْتَقْبَلَهُ دَاعِي امْرَأَةٍ فَجَاءَ وَجِيءَ
بِالطَّعَامِ فَوَضَعَ يَدَهُ ثُمَّ وَضَعَ الْقَوْمُ فَأَكَلُوا فَنَظَرَ
آبَاؤُنَا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَلُوكُ لُقْمَةً فِي
فَمِهِ ثُمَّ قَالَ أَجِدُ لَحْمَ شَاةٍ أُخِذَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ أَهْلِهَا
فَأَرْسَلَتْ الْمَرْأَةُ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي أَرْسَلْتُ إِلَى
الْبَقِيعِ يَشْتَرِي لِي شَاةً فَلَمْ أَجِدْ فَأَرْسَلْتُ إِلَى جَارٍ لِي قَدْ
اشْتَرَى شَاةً أَنْ أَرْسِلْ إِلَيَّ بِهَا بِثَمَنِهَا فَلَمْ يُوجَدْ
فَأَرْسَلْتُ إِلَى امْرَأَتِهِ فَأَرْسَلَتْ إِلَيَّ بِهَا فَقَالَ رَسُولُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَطْعِمِيهِ اْلأُسَارَى
“Muhammad
bin al-‘Ala’ menceritakan dari (Abdullah) bin Idris dari ‘Ashim bin Kulaib dari
ayahnya (Kulaib) dari seorang laki-laki Anshar (shahabat), berkata: ‘Aku keluar
bersama Rasulallah berta’ziyah ke salah satu jenazah. Selanjutnya aku melihat
Rasulallah di atas kubur berpesan kepada penggali kubur (dengan berkata):
‘Lebarkanlah bagian arah kedua kaki dan lebarkan pula bagian arah kepala!’
Setelah Rasulallah hendak kembali pulang, tiba-tiba seseorang yang menjadi
pesuruh wanita (istri mayit) menemui beliau,
mengundangnya (untuk datang ke rumah wanita tersebut). Lalu Rasulallah
pun datang dan diberi hidangan suguhan makanan. Kemudian Rasulallah pun
mengambil makanan tersebut yang juga diikuti oleh para shahabat lain dan
memakannya. Ayah-ayah kami melihat Rasulallah mengunyah sesuap makanan di mulut
beliau, kemudian Rasulallah berkata: ’Aku merasa menemukan daging kambing yang
diambil dengan tanpa izin pemiliknya?!’ Kemudian wanita itu berkata: ’Wahai
Rasulallah, sesungguhnya aku telah menyuruh untuk membeli kambing di Baqi,[1]
tapi tidak menemukannya, kemudian aku mengutus untuk membeli dari tetangga
laki-laki kami dengan uang seharga (kambing tersebut) untuk dikirimkan kepada
saya, tapi dia tidak ada dan kemudian saya mengutus untuk membeli dari istrinya
dengan uang seharga kambing tersebut lalu oleh dia dikirimkan kepada saya.’
Rasulallah kemudian menjawab: ’Berikanlah makanan ini kepada para tawanan!’”
Hadits Abu Dawud tersebut juga tercatat dalam
Misykah al-Mashabih karya Mulla Ali al-Qari bab mukjizat halaman 544 dan
tercatat juga dalam as-Sunan al-Kubra serta Dala’il an-Nubuwwah, keduanya karya al-Baihaqi.
Komentar Syaikh Ismail
tentang status sanad hadits di atas, beliau berkata bahwa dalam Sunan Abu Dawud
tersebut, Imam Abu Dawud diam tidak memberi komentar mengenai statusnya, yang
artinya secara kaidah (yang dianut oleh ulama termasuk an-Nawawi dalam
mukaddimah al-Adzkar) bahwa hadits tersebut boleh dibuat hujjah, artinya status
haditsnya berkisar antara hasan dan shahih. Al-Hafizh al-Mundziri juga diam
tidak berkomentar, yang artinya bahwa hadits tersebut juga boleh dibuat hujjah.
Perawi yang bernama Muhammad bin al-‘Ala’
adalah guru Imam al-Bukhari, Muslim dan lain-lain dan jelas termasuk perawi
shahih. Abdullah bin Idris dikomentari oleh Ibnu Ma’in sebagai perawi tsiqah
dan di katakan oleh Imam Ahmad sebagai orang yang tidak ada duanya (nasiju
wahdih). Sementara ‘Ashim, banyak yang komentar dia adalah perawi tsiqah dan
terpercaya, haditsnya tidak mengapa diterima, orang shalih dan orang mulia
penduduk Kufah. Sedangkan laki-laki penduduk Madinah yang di maksud adalah
shahabat Nabi yang semuanya adalah adil tanpa ada curiga sama sekali. Dari
keterangan ini, dapat diambil kesimpulan bahwa hadits di atas adalah hadits
hasan yang bisa dibuat hujjah.
Sedangkan dari sisi
isinya, hadits tersebut mengandung beberapa faidah dan hukum penting, di
antaranya:
Ø Menunjukkan mukjizat Rasulallah yang dapat
mengetahui haram tidaknya sesuatu tanpa ada seseorang yang memberi tahu. Oleh
karena itu, al-Baihaqi dalam Dala’il an-Nubuwwah menyebutkan hadits ini dalam
bab Mukjizat.
Ø Jual belinya seseorang yang bukan pemilik atau
wakil (bai’ fudhuli) adalah tidak sah dan bathil. Oleh karennya, Abu Dawud
menyebutkan hadits ini dalam Sunan-nya di bagian bab Jual Beli.
Ø Akad yang mengandung syubhat seyogianya
dihindari agar tidak jatuh pada limbah keharaman.
Ø Diperbolehkannya bagi keluarga mayit membuat
hidangan atau walimah dan mengundang orang lain untuk hadir memakannya. Bahkan,
jika difahami dari hadits tersebut, melakukan walimah tersebut adalah termasuk
qurbah (ibadah). Sebab, adakalanya memberi makan bertujuan mengharapkan pahala
untuk si mayit -termasuk utama-utamanya qurbah- serta sudah menjadi kesepakatan bahwa pahalanya
bisa sampai kepada mayit. Mungkin pula bertujuan menghormati tamu dan niat
menghibur keluarga yang sedang mendapat musibah agar tidak lagi larut dalam
kesedihan. Baik jamuan tersebut dilakukan saat hari kematian, seperti yang
dilakukan oleh istri mayit dalam hadits di atas, atau dilakukan di hari-hari
berikutnya. (Mungkin maksud Syaikh Ismail adalah hari ke-7, 40, 100 dan 1000).
Hadits di atas juga di
nilai tidak bertentangan dengan hadits masyhur berikut:
إِصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرَ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُنَّ مَا
يُشْغِلُهُنَّ أَوْ أَتَاهُمْ مَا يُشْغِلُهُمْ
“Buatlah makanan untuk keluarga Ja‘far, karena
anggota keluarga yang wanita sedang sibuk atau anggota keluarga laki-laki
sedang sibuk.”
Menurut Syaikh Isma‘il,
hadits tersebut (keluarga Ja'far) ada kemungkinan (ihtimal) khusus untuk
keluarga Ja‘far, karena Rasulallah melihat keluarga Ja‘far tersebut sedang
dirundung duka sehingga anggota keluarganya tidak sempat lagi membuat makanan.
Kemudian Rasulallah menyuruh anggota keluarga beliau untuk membuatkan makanan
bagi keluarga Ja‘far. Selain itu juga, tidak ada hadits yangsharih (jelas) yang
menjelaskan bahwa Rasulallah melarang bagi keluarga mayit membuat hidangan atau
walimahan untuk pentakziyah.
Pernyataan ini
dikuatkan dengan riwayat dalam Shahih al-Bukhari dari Aisyah:
عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَنَّهَا كَانَتْ إِذَا مَاتَ
الْمَيِّتُ مِنْ أَهْلِهَا فَاجْتَمَعَ لِذَلِكَ النِّسَاءُ ثُمَّ تَفَرَّقْنَ
إِلاَّ أَهْلَهَا وَخَاصَّتَهَا أَمَرَتْ بِبُرْمَةٍ مِنْ تَلْبِينَةٍ فَطُبِخَتْ
ثُمَّ صُنِعَ ثَرِيدٌ فَصُبَّتْ التَّلْبِينَةُ عَلَيْهَا ثُمَّ قَالَتْ كُلْنَ
مِنْهَا فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ
التَّلْبِينَةُ مُجِمَّةٌ لِفُؤَادِ الْمَرِيضِ تَذْهَبُ بِبَعْضِ الْحُزْنِ
“Dari Aisyah, istri Rasulallah, ketika salah
satu keluarganya ada yang meninggal, para wanita-wanita berkumpul dan kemudian
pergi kecuali anggota keluarganya dan orang-orang tertentu. Kemudian beliau
memerintahkan untuk membawakannya periuk berisi sup yang terbuat dari tepung
yang dicampuri dengan madu kemudian dimasak. Kemudian dibuatlah bubur sarid dan
sup tadi dimasukkan ke dalam bubur tersebut. Lalu beliau berkata: ‘Makanlah
makanan ini karena aku mendengar dari Rasulallah bersabda bahwa bahwa sup dapat
melegakan hati orang yang sedang sakit; menghilangkan sebagian kesusahan.”
Orang yang mengerti
kaidah syari’at berpandangan bahwa walimah yang dibuat oleh keluarga mayit
adalah tidak dilarang selama mereka membuat walimah tersebut karena taqarrub
kepada Allah, menghibur keluarga yang sedang mendapat musibah dan menghormat
para tamu yang datang untuk bertakziyah. Tentunya, semua itu jika harta yang
digunakan untuk walimah tersebut tidak milik anak yatim, yakni jika salah satu
keluarga yang ditinggalkan mayit ada anak yang masih kecil (belum baligh).
Adapun menanggapi
perkataan (hadits) al-Jarir bin Abdillah yang mengatakan bahwa berkumpul dengan
keluarga mayit dan membuatkan hidangan untuk mereka adalah termasuk niyahah (meratapi
mayit) yang diharamkan, Syaikh Isma‘il memberi jawaban: “Maksud dari ucapan
Jarir tersebut adalah mereka berkumpul dengan memperlihatkan kesedihan dan meratap. Hal itu terbukti dari redaksi ucapan
Jarir yang menggunakan kata niyahah. Hal itu menunjukkan bahwa keharaman
tersebut dipandang dari sisi niyahah dan bukan dari berkumpulnya. Sedangkan
apabila tidak ada niyahah tentu hal tersebut tidak di haramkan.”
Sedangakan menjawab
komentar ulama-ulama yang sering digunakan untuk mencela budaya di atas[2]
(tentang hukum sunah bagi tetangga keluarga mayit membuat atau menyiapkan
makanan bagi keluarga mayit sehari semalam) yang dimaksudkan adalah obyek hukum
sunah tersebut adalah bagi keluarga mayit yang sedang kesusahan seperti yang
dialami keluarga Ja‘far. Oleh karena itu, tidak ada dalil tentang hukum makruh
membuat walimah oleh keluarga mayit secara mutlak kecuali dari (memahami)
hadits keluarga Ja‘far dan hadits Jarir di atas. Ada kemungkinan juga
ulama-ulama tersebut belum pernah melihat hadits ‘Ashim di atas yang
menerangkan tentang bolehnya membuat walimah bagi keluarga mayit.
Al-‘Allamah Mulla Ali
al-Qari mengatakan: “Zhahir dari hadits ‘Ashim tersebut menentang apa yang
diputuskan oleh para ulama kita (ashhabuna) tentang dimakruhkannya membuat walimah
di hari pertama, ketiga atau setelah seminggu.”
Adapun dalil bahwa
pahala shadaqah yang dihadiahkan kepada mayit itu sampai kepadanya adalah
riwayat al-Bukhari dari Aisyah:
أَنَّ رَجُلاً قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِنَّ أُمِّي افْتُلِتَتْ نَفْسُهَا وَأَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ
تَصَدَّقَتْ فَهَلْ لَهَا أَجْرٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ
“Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulallah
Saw.: ‘Ibu saya telah meninggal, dan aku berprasangka andai dia bisa berbicara
pasti dia akan bersedekah, maka apakah dia mendapat pahala jika aku bersedekah
untuknya?’ Rasulallah menjawab: ‘Benar.’”
Hadits shahih ini
adalah hujjah tentang pahala shadaqah yang sampai kepada mayit. Maka dari itu,
pembaca jangan terperdaya dengan ‘pandangan’ H. Mahrus Ali dalam bukunya yang
berjudul Mantan Kyai NU Menggugat Tahlilan, Istighatsahan dan Ziarah para Wali.
Mahrus Ali mengatakan bahwa hadits-hadits tentang pahala shadaqah tersebut
adalah dha‘if dan secara isyarah dia melemahkan hadits shahih al-Bukhari di
atas. Sungguh brutal dan ‘ngawur’ sekali! Bukan dalang tapi mendalang. Bukan
ahli hadits tapi menilai hadits. Apalagi sampai mendhaifkan hadits dalam shahih
Bukhari yang mempunyai sanad (bukan mu’allaq) dan sudah menjadi kesepakatan
ulama termasuk hadits shahih.
Fatwa as-Suyuthi:
Terdapat keterangan
ulama bahwa mayit difitnah (ditanya malaikat Munkar dan Nakir) di dalam
kuburnya adalah selama 7 hari (setelah hari penguburan) sebagaimana tersirat
dalam hadits yang dibawakan oleh beberapa ulama. Hadits yang dibuat landasan
tersebut adalah:
Hadits riwayat Ahmad dalam az-Zuhd dari Thawus.
Hadits riwayat Abu Nu’aim al-Ashbahani dari Thawus.
Hadits riwayat Ibnu Juraij dalam al-Mushannaf dari ‘Ubaid bin ‘Umair
(sebagian berkomentar dia adalah pembesar tabi’in dan sebagian yang lain
mengatakan dia seorang shahabat). Al-Hafizh Ibnu Rajab menisbatkan pada Mujahid
dan ‘Ubaid bin ‘Umair.
Hadits-hadits tersebut adalah:
قَالَ اْلإِمَامُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ فِي كِتَابِ الزُّهْدِ لَهُ حَدَّثَنَا هَاشِمٌ بْنُ اْلقَاسِمِ قَالَ
ثَنَا اْلأَشْجَعِي عَنْ سُفْيَانَ قَالَ قَالَ طَاوُوسُ إِنَّ الْمَوْتَى
يُفْتَنُونَ فِي قُبُورِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوا يَسْتَحِبُّونَ أَنْ يُطْعِمُوا
عَنْهُمْ تِلْكَ اْلأَيَّامَ
قَالَ الْحَافِظُ أَبُو نُعَيْمٍ فِي الْحِلْيَةِ
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ بْنِ مَالِكٍ ثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ أَحْمَدَ ابْنُ
حَنْبَلَ ثَنَا أُبَيُّ ثَنَا هَاشِمٌ بْنُ الْقَاسِمِ ثَنَا اْلأَشْجَعِي عَنْ
سُفْيَانَ قَالَ قاَلَ طَاوُوسُ إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُونَ فِي قُبُورِهِمْ
سَبْعًا فَكَانُوا يَسْتَحِبُّونَ أَنْ يُطْعَمَ عَنْهُمْ تِلْكَ اْلأَيَّامَ
ذِكْرُ الرِّوَايَةِ الْمُسْنَدَةِ عَنْ عُبَيْدٍ بْنِ
عُمَيْرٍ: قاَلَ ابْنُ جُرَيْجٍ فِي مَصَنَّفِهِ عَنِ الْحَارِثِ ابْنِ أَبِي
الْحَارِثِ عَنْ عُبَيْدٍ بْنِ عُمَيْرٍ قَالَ يُفْتَنُ رَجُلاَنِ مُؤْمِنٌ
وَمُنَافِقٌ فَأَمَّا الْمُؤْمِنُ فَيُفْتَنُ سَبْعًا
“Imam Ahmad dalam az-Zuhd berkata: ‘Hasyim bin
Qasim bercerita kepadaku dari al-Asyja‘i dari Sufyan dari Thawus, dia berkata:
Sesungguhnya mayit di dalam kuburnya terfitnah (ditanyai Malaikat Munkar dan
Nakir) selama 7 hari. Dan mereka menganjurkan supaya membuat (walimahan) dengan memberi makan (orang-orang), (yang
pahalanya dihadiahkan) untuk si mayit tersebut di hari-hari tersebut.” Selanjutnya hadits riwayat berikutnya adalah
sama secara makna.
Sebelum membahas isi
dari hadits ini, marilah kita bahas terlebih dahulu diri sisi sanadnya,
sehingga kita akan tahu layak dan tidaknya hadits ini untuk dibuat hujjah.
Perawi-perawi hadits
yang pertama adalah shahih dan Thawus adalah termasuk pembesar tabi’in.
Hadits yang
diriwayatkan dan tidak mungkin dari hasil ijtihad shahabat atau tabi’in
hukumnya adalah marfu’ bukan mauquf, seperti hadits yang menerangkan tentang
alam barzakh, akhirat dan lain-lain sebagaimana yang sudah maklum dalam kaidah
ushul hadits.
Atsar Thawus tersebut
adalah termasuk hadits marfu’ yang mursal dan sanadnya shahih serta boleh
dibuat hujjah menurut Abu Hanifah, Malik dan Ahmad secara mutlak tanpa syarat.
Sedangkan menurut asy-Syafi‘i juga boleh dibuat hujjah jika ada penguat seperti
ada riwayat yang sama atau riwayat dari shahabat yang mencocokinya. Syarat
tersebut telah terpenuhi, yaitu dengan adanya riwayat dari Mujahid dan ‘Ubaid
bin ‘Umair dan keduanya seorang tabi’in besar (sebagian mengatakan ‘Ubaid adalah
shahabat Rasulallah). Dua hadis riwayat selanjutnya adalah hadits mursal yang
menguatkan hadits mursal di atas.
Menurut kaidah ushul,
kata-kata “mereka menganjurkan memberi makan di hari-hari itu” adalah termasuk
ucapan tabi’in. Artinya, kata “mereka” berkisar antara shahabat Rasulallah, di
zaman Rasulallah, dan beliau taqrir (setuju) terhadap prilaku tersebut atau
artinya adalah shahabat tanpa ada penisbatan sama sekali kepada Rasulallah.
Ulama juga berselisih apakah hal itu adalah ikhbar (informasi) dari semua
shahabat yang berarti menjadi ijma’ atau hanya sebagian dari shahabat saja.
Dari hadits di atas dapat difahami dan digunakan sebagai:
Dasar tentang i’tiqad bahwa fitnah kubur
adalah selama 7 hari.
Penetapan hukum syara'
tentang disunahkannya bershadaqah dan memberi makan orang lain di hari-hari
tersebut. Serta, dapat dijadikan dalil bahwa budaya memberi makan warga
Nahdhiyyin saat hari pertama sampai hari ketujuh dari hari kematian adalah
terdapat dalil yang mensyariatkannya.
As-Suyuthi juga mengatakan:
“Sunah memberi makan selama 7 hari tersebut berlaku sampai sekarang di Makkah
dan Madinah, dan secara zhahirnya hal itu sudah ada dan tidak pernah
ditinggalkan masyarakat sejak zaman shahabat sampai sekarang. Dan mereka
mengambilnya dari salaf-salaf terdahulu.”
Al-Hafizh Ibnu ‘Asakir
meriwayatkan dari Abul Fath Nashrullah bin Muhammad bahwa Nashr al-Maqdisi
wafat di hari Selasa tanggal 9 Muharram tahun 490 hijriyyah di Damaskus dan
kami menetap di makamnya selama 7 hari membaca al-Qur’an sebanyak 20 khataman.
Adapun melakukan acara
40 hari, 100 hari atau 1000 hari dari kematian dengan melakukan tahlilan dan
bershadaqah memang tidak ada dalil yang mengatakan sunah. Namun demikian,
melakukan budaya tersebut diperbolehkan menurut syariat. Dan seyogianya bagi
yang mengadakan acara tersebut tidak mengi’tiqadkan bahwa hal tersebut adalah
sunnah dari Rasulallah, tetapi cukup berniat untuk bershadaqah dan membacakan
Al-Qur’an, yang mana pahalanya dihadiahkan kepada mayit, sebagaimana keterangan
di atas.
Sedangkan untuk
menanggapi syubhat dari H. Mahrus Ali yang mengatakan bahwa tahlilan kematian
dan budaya 7 hari, 40 hari, 100 hari dan 1000 hari adalah budaya Hindu dan
melakukannya adalah syirik karena menyerupai orang kafir (dia juga membawakan
hadits tentang tasyabbuh riwayat ath-Thabarani dan Abu Dawud), kami menjawab
sebagai berikut:
Sebagian dari
pernyataannya tentang acara selamatan 7 hari yang katanya adalah merupakan
salah satu dakwah (ajaran syari’at) umat Hindu sudah terbantah dengan
hadits-hadits di atas.
Andai anggapan tersebut
benar adanya, bahwasannya budaya walimah kematian 7 hari, 40 hari dan
sebagainya tersebut adalah bermula dari budaya warisan umat Hindu Jawa,
sebagaimana yang di yakini oleh bebarapa Kyai dan ahli sejarah babat tanah
Jawa, dan di saat ajaran Islam yang di bawa Wali Songo datang, budaya tersebut
sudah terlanjur mendarah daging dengan kultur masyarakat Jawa kala itu.
Kemudian dengan dakwah yang penuh hikmah dan kearifan dari para wali, budaya
yang berisi kemusyrikan tersebut di giring dan di arahkan menjadi budaya yang
benar serta sesuai dengan ajaran Islam, yaitu dengan diganti dengan melakukan
tahlilan, kirim do’a untuk orang yang telah meninggal atau arwah laluhur dan
bersedekah. Maka sebenarnya jika kita kembali membaca sejarah Islam bahwasannya
methode dakwah wali 9 yang mengganti budaya Hindu tersebut dengan ajaran yang
tidak keluar dari tatanan syariat adalah sesuai dengan apa yang di lakukan oleh
Rasulallah yang mengganti budaya Jahiliyyah melumuri kepala bayi yang di lahirkan
dengan darah hewan sembelihan dan diganti dengan melumuri kepala bayi dengan
minyak zakfaron. Apa yang di lakukan Rasulallah tersebut tersirat dalam sebuah
hadits shahih riwayat al-Hakim dalam al-Mustadrak, Abu Dawud dalam Sunan-nya,
Imam Malik dalam al-Muwaththa’ dan al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubrayang
semuanya di riwayatkan dari shahabat Abu Buraidah al-Aslami berikut:
كُنَّا فِى الْجَاهِلِيَّةِ إِذَا وُلِدَ لأَحَدِنَا
غُلاَمٌ ذَبَحَ شَاةً وَلَطَّخَ رَأْسَهُ بِدَمِهَا فَلَمَّا جَاءَ اللَّهُ بِالإِسْلاَمِ
كُنَّا نَذْبَحُ شَاةً وَنَحْلِقُ رَأْسَهُ وَنَلْطَخُهُ بِزَعْفَرَانٍ
“Saat kami masih hidup di zaman Jahiliyyah;
saat salah satu dari kami melahirkan seorang bayi, maka kami menyembelih seekor
kambing dan kepala bayi kami lumuri dengan darah kambing tersebut. Namun saat
Allah mendatangkan Islam, kami menyembelih kambing, kami cukur rambut kepala
bayi dan kami lumuri kepalanya dengan minyak zakfaron”
Dengan demikian, jika
budaya walimah kematian di atas yang di isi dengan berbagai kebaikan seperti
shodaqah penghormatan kepada tamu dan bacaan ratib tahlil atau dzikir-dzikir
lain di anggap sebagai sesuatu yang keluar dari jalur syariat dan bid'ah yang
sesat, maka sebenarnya anggapan tersebut sama dengan menganggap dakwah wali
songo tersebut tidak benar dan mereka adalah pendakwah yang sesat. Na'udzu
billah.
Tasyabbuh
dengan orang kafir yang dihukumi kufur adalah jika tasyabbuh dengan kelakuan
kufur mereka, memakai pakaian ciri khas mereka, atau sengaja melakukan syiar-syiar
kekufuran bersama-sama dengan mereka.
Atau ringkasnya,
tasyabbuh yang menjadikan kufur adalahtasyabbuh dengan mereka secara mutlak
(zhahiran wa bathinan). Sedangakan tasyabbuh yang dihukumi haram adalah jika
tasyabbuh tersebut diniatkan menyerupai mereka di dalam hari-hari raya
mereka.[3] Padahal kita tahu, acara selamatan sudah ada sejak dulu dan juga
selamatan tidak pernah tasyabbuh dengan kekufuran dan hari-hari raya mereka.
Andaipun tuduhan itu benar, bahwa selamatan merupakan budaya Hindu, maka juga
tidak bisa dihukumi kufur atau haram karena warga Nahdhiyyin sama sekali tidak
ada niat tasyabbuh dengan budaya mereka. Selain dari pada itu, umat Hindu tidak
pernah mengenal tahlilan sama sekali. Lalu kenapa dikatakan tasyabbuh dan
dihukumi haram? dan masihkan acara yang
dilakukan oleh warga Nahdhiyyin tersebut dianggap sebagai budaya bid’ah dan
sesat?
[1] Sebagian riwayat menyebutkan
Naqi (tempat pembelian kambing).
[3] Lihat Faidh al-Qadir 6/128 (hadits no 8593) dan Bughyatul
Mustarsyidin hlm. 248
Dalil Lengkap Amaliyah Sunnah Ketika Keluarga
Meninggal Dunia
Sebenarnya amaliya amaliyah ini sudah terlaku
sejak zaman Ulama salafusshalih bahkan sejak zaman Nabi Muhammad Saw, namun
akhir akhir ini amaliyah ini sering dihujat bahkan dianggap syirik oleh
golongan-golongan baru. Benarkah amaliya seputar kematian ini tidak ada
dalilnya? mari kita kaji bersama kajian yang telah disampaikan Oleh Ustadz
ma'ruf Khozin berikut:
-
Membacakan Surat Yasin
Hadis-hadis dan amaliyah sahabat dalam membaca Yasin diulas lengkap oleh
Ibnu Katsir dalam tafsirnya:
قال الإمام أحمد: حدثنا عارم، حدثنا ابن المبارك، حدثنا
سليمان التيمي، عن أبي عثمان –وليس بالنهدي-عن أبيه، عن مَعْقِل بن يَسَار قال:
قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "اِقْرَؤُوْهَا عَلَى
مَوْتَاكُمْ" –يَعْنِي: يس. ورواه أبو داود، والنسائي في "اليوم
والليلة" وابن ماجه من حديث عبد الله بن المبارك، به إلا أن في رواية النسائي:
عن أبي عثمان، عن معقل بن يسار. وَلِهَذَا قَالَ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ: مِنْ
خَصَائِصِ هَذِهِ السُّوْرَةِ: أَنَّهَا لاَ تُقْرَأُ عِنْدَ أَمْرٍ عَسِيْرٍ
إِلاَّ يَسَّرَهُ اللهُ. وَكَأَنَّ قِرَاءَتَهَا عِنْدَ الْمَيِّتِ لِتُنْزَلَ
الرَّحْمَةُ وَالْبَرَكَةُ، وَلِيَسْهُلَ عَلَيْهِ خُرُوْجُ الرُّوْحِ، وَاللهُ
أَعْلَمُ. قَالَ اْلإِمَامُ أَحْمَدُ رَحِمَهُ اللهُ: حَدَّثَنَا أَبُوْ
الْمُغِيْرَةِ، حَدَّثَنَا صَفْوَانُ قَالَ: كَانَ الْمَشِيْخَةُ يَقُوْلُوْنَ:
إِذَا قُرِئَتْ –يَعْنِي يس-عِنْدَ الْمَيِّتِ خُفِّفَ عَنْهُ بِهَا (تفسير ابن
كثير / دار طيبة –6 / 562)
"Imam Ahmad berkata bahwa Rasulullah Saw
bersabda: Bacakanlah surat Yasin kepada orang-orang yang meninggal (HR Abu
Dawud dan al-Nasai). Oleh karenanya sebagian ulama berkata: diantara
keistimewaan surat yasin jika dibacakan dalam hal-hal yang sulit maka Allah
akan memudahkannya, dan pembacaan Yasin di dekat orang yang meninggal adalah
agar turun rahmat dan berkah dari Allah serta memudahkan keluarnya ruh. Imam
Ahmad berkata: Para guru berkata: Jika Yasin dibacakan di dekat mayit maka ia
akan diringankan (keluarnya ruh)" (Ibnu Katsir V/342-343)
-
Membacakan Surat al-Fatihah
وَأَنَا أُوْصِي مَنْ طَالَعَ كِتَابِي وَاسْتَفَادَ مَا
فِيْهِ مِنَ الْفَوَائِدِ النَّفِيْسَةِ الْعَالِيَةِ أَنْ يَخُصَّ وَلَدِي
وَيَخُصَّنِي بِقِرَاءَةِ اْلفَاتِحَةِ وَيَدْعُوَ لِمَنْ قَدْ مَاتَ فِي غُرْبَةٍ
بَعِيْداً عَنِ اْلإِخْوَانِ وَاْلأَبِ وَاْلأُمِّ بِالرَّحْمَةِ وَالْمَغْفِرَةِ
فَإِنِّي كُنْتُ أَيْضاً كَثِيْرَ الدُّعَاءِ لِمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فِي حَقِّي
وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ
تَسْلِيْماً كَثِيْراً آمِيْنَ وَالْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ (تفسير
الرازي : مفاتيح الغيب 18 / 183)
"(al-Razi berkata) Saya berwasiat kepada
pembaca kitab saya dan yang mempelajarinya agar secara khusus membacakan
al-Fatihah untuk anak saya dan diri saya, serta mendoakan orang-orang yang
meninggal nan jauh dari teman dan keluarga dengan doa rahmat dan ampunan. Dan
saya sendiri melakukan hal tersebut" (Tafsir al-Razi 18/233-234)
-
Tahlilan 7 Hari
حَدَّثَنَا أَبُوْ بَكْرِ بْنِ مَالِكِ ثَنَا عَبْدُ
اللهِ بْنُ أَحْمَدَ بْنَ حَنْبَلَ ثَنَا أَبِي ثَنَا هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ
ثَنَا اْلأَشْجَعِي عَنْ سُفْيَانَ (الثَّوْرِيّ) قَالَ قَالَ طَاوُوْسٌ إِنَّ
الْمَوْتَى يُفْتَنُوْنَ فِي قُبُوْرِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ
أْنْ يُطْعَمَ عَنْهُمْ تِلْكَ اْلأَيَّامَ (المطالب العلية للحافظ ابن حجر 5 /
330 وحلية الأولياء لابي نعيم الاصبهاني ج 4 / 11
وصفة الصفوة لأبي الفرج عبد الرحمن بن علي بن محمد بن الجوزي 1 / 20
والبداية والنهاية لابن كثير 9 / 270 وشرح صحيح البخارى لابن بطال 3 / 271 وعمدة
القاري شرح صحيح البخارى للعيني 12 / 277)
"Imam Ahmad mengutip pernyataan Thawus:
Sesungguhnya orang-orang yang mati mendapatkan ujian di kubur mereka selama 7
hari. Maka para sahabat senang untuk memberi sedekah pada 7 hari tersebut"
(Ibnu Hajar dalam al-Mathalib al-Aliyah V/330, Abu Nuaim dalam Hilyat
al-Auliya' IV/11, Ibnu al-Jauzi dalam Shifat al-Shafwah I/20, Ibnu Katsir
(murid Ibnu Taimiyah, ahli Tafsir) dalam al-Bidayah wa al-Nihayah IX/270, Ibnu
Baththal dalam Syarah al-Bukhari III/271 dan al-Aini dalam Umdat al-Qari Syarah
Sahih al-Bukhari XII/277)
-
Sedekah Keluarga Kepada Pelayat
Sayyidina Umar berwasiat agar memberi hidangan makanan untuk para
pelayat:
عَنِ اْلأَحْنَفِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ كُنْتُ أَسْمَعُ
عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَقُوْلُ لاَ يَدْخُلُ أَحَدٌ مِنْ قُرَيْشٍ فيِ بَابٍ
إِلاَّ دَخَلَ مَعَهُ نَاسٌ فَلاَ أَدْرِي مَا تَأْوِيْلُ قَوْلِهِ حَتَّى طُعِنَ
عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَ فَأَمَرَ صُهَيْبًا رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنْ يُصَلِّيَ
بِالنَّاسِ ثَلاَثًا وَأَمَرَ أَنْ يَجْعَلَ لِلنَّاسِ طَعَامًا فَلَمَّا
رَجَعُوْا مِنَ الْجَنَازَةِ جَاؤُوْا وَقَدْ وُضِعَتِ الْمَوَائِدُ فَأَمْسَكَ
النَّاسُ عَنْهَا لِلْحُزْنِ الَّذِيْ هُمْ فِيْهِ فَجَاءَ الْعَبَّاسُ بْنُ
عَبْدِ الْمُطَلِّبَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ
مَاتَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَكَلْنَا وَشَرَبْنَا
وَمَاتَ أَبُوْ بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فَأَكَلْنَا وَشَرَبْنَا . أَيُّهَا
النَّاسُ كُلُوْا مِنْ هَذَا الطَّعَامِ فَمَدَّ يَدَهُ وَمَدَّ النَّاسُ
أَيْدِيَهُمْ فَأَكَلُوْا فَعَرَفْتُ تَأْوِيْلَ قَوْلِهِ (رواه الطبراني وقال
الهيثمي وفيه علي بن زيد وحديثه حسن وبقية رجاله رجال الصحيح مجمع الزوائد ومنبع
الفوائد 5 / 354 والمطالب العالية بزوائد المسانيد للحافظ ابن حجر ج 1 / ص 286
واتحاف الخيرة المهرة بزوائد المسانيد العشرة للحافظ البوصيري 2 / 153 وتاريخ
بغداد للخطيب البغدادي 12 / 3574 ومناقب لابن الجوزي 233 بدون إسناد)
"Dari Ahnaf bin Qais, ia berkata: Saya
mendengar Umar berkata: 'Tidak ada seorang pun dari suku Quraisy yang masuk
melalui satu pintu kecuali akan diikuti oleh orang-orang yang lain'. Saya tidak
mengerti apa maksud ucapan beliau hingga ketika Umar ditusuk, maka beliau
memerintahkan kepada Shuhaib agar disalatkan sebanyak tiga kali, dan
memerintahkan agar pelayat dibuatkan makanan. Maka ketika para sahabat pulang
dari pemakaman, mereka telah disiapkan hidangan, namun mereka terdiam karena
mereka merasa sedih. Kemudian Abbas bin Abdul Muthallib datang dan berkata:
Wahai manusia, sungguh Rasulullah telah wafat, maka kita makan dan minum. Abu
Bakar telah wafat, maka kita makan dan minum. Wahai manusia makanlah hidangan
ini! Kemudian Abbas menggapai makanan dengan tangannya, dan orang-orang juga
turut memakannya. (Ahnaf berkata) Maka saya tahu apa maksud perkataan
Umar" (Diriwayatkan oleh al-Thabrani, al-Hatsami berkata: Dalam riwayat
tersebut terdapat perawi Ali bin Zaid (bin Judz'an) ia hadisnya berstatus
Hasan, dan perawi lainnya adalah perawi Sahih. Juga diriwayatkan oleh Ibnu
Hajar dalam al-Mathalib al-Aliyah I/286, al-Bushiri dalam Ithaf al-Khiyarah
II/153, Khatib al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad XII/357 dan Ibnu al-Jauzi dalam
al-Manaqib 233, tanpa mencantumkan sanad)
Aisyah, Istri Rasulullah membuat hidangan untuk orang-orang yang
bertakziyah:
عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم
أَنَّهَا كَانَتْ إِذَا مَاتَ الْمَيِّتُ مِنْ أَهْلِهَا فَاجْتَمَعَ لِذَلِكَ
النِّسَاءُ ثمَّ تَفَرَّقْنَ إِلاَّ أَهْلَهَا وَخَاصَّتَهَا أَمَرَتْ بِبُرْمَةٍ
مِنْ تَلْبِينَةٍ فَطُبِخَتْ ثُمَّ صُنِعَ ثَرِيدٌ فَصُبَّتِ التَّلْبِينَةُ
عَلَيْهَا ثُمَّ قَالَتْ كُلْنَ مِنْهَا فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله
عليه وسلم يَقُولُ : التَّلْبِينَةُ مَجَمَّةٌ لِفُؤَادِ الْمَرِيضِ تَذْهَبُ
بِبَعْضِ الْحُزْنِ (رواه البخاري 10 / 123 و 124 في الطب ، باب التلبينة للمريض ،
وفي الأطعمة ، باب التلبينة ، ومسلم رقم (2216) في السلام ، باب التلبينة مجمة
لفؤاد المريض)
"Diriwayatkan bahwa ketika keluarga
Aisyah ada yang wafat maka wanita-wanita berkumpul, kemudian mereka pulang
kecuali keluarga dan orang-orang tertentu saja. Aisyah memerintahkan untuk
memasak semacam makanan adonan yang disebut Talbinah. Aisyah berkata: Makanlah!
Karena saya mendengar Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya Talbinah dapat
memperteguh hati orang yang sakit dan dapat menghilangkan sebagian
kesusahannya" (HR al-Bukhari dan Muslim)
- Mengiringi Janazah Dengan Tahlil
أَخْرَجَ ابْنُ عَدِيٍّ فِي "الْكَامِلِ" عَنْ
إبْرَاهِيمَ بْنِ أَبِي حُمَيْدٍ ثَنَا أَبُو بَكْرَةَ عَبْدُ الْعَظِيمِ بْنُ
حَبِيبٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ
أَبِيهِ عَنْ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: لَمْ يَكُنْ يُسْمَعُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَهُوَ يَمْشِي خَلْفَ الْجِنَازَةِ، إلَّا
قَوْلُ: لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ، مُبْدِيًا، وَرَاجِعًا، انْتَهَى. وَضَعَّفَ
إبْرَاهِيمَ هَذَا، وَجَعَلَهُ مِنْ مُنْكَرَاتِهِ. وَأَعَادَهُ فِي
"تَرْجَمَةِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ"،
وَضَعَّفَهُ تَضْعِيفًا يَسِيرًا. (نصب الراية 2 / 292)
"Ibnu Umar berkata: Tidak terdengar dari
Rasulullah ketika mengiringi janazah dari belakang kecuali kalimat tahlil, baik
ketika mengantar atau pulangnya" (HR Ibnu Adi dalam al-Kamil dengan
sedikit dlaif)
-
Mengirim Pahala Tahlil Kepada Mayit
Meski tidak ada keterangan secara jelas bahwa Ibnu Taimiyah adalah
pengamal tahlilan, tapi setidaknya ia setuju dan tidak menyalahkan orang-orang
yang tahlilan. Inilah
fatwa Ibnu Taimiyah:
وَسُئِلَ : عَمَّنْ " هَلَّلَ سَبْعِينَ أَلْفَ
مَرَّةٍ وَأَهْدَاهُ لِلْمَيِّتِ يَكُونُ بَرَاءَةً لِلْمَيِّتِ مِنْ النَّارِ
" حَدِيثٌ صَحِيحٌ ؟ أَمْ لَا ؟ وَإِذَا هَلَّلَ الْإِنْسَانُ وَأَهْدَاهُ
إلَى الْمَيِّتِ يَصِلُ إلَيْهِ ثَوَابُهُ أَمْ لَا ؟ فَأَجَابَ : إذَا هَلَّلَ
الْإِنْسَانُ هَكَذَا : سَبْعُونَ أَلْفًا أَوْ أَقَلَّ أَوْ أَكْثَرَ .
وَأُهْدِيَتْ إلَيْهِ نَفَعَهُ اللَّهُ بِذَلِكَ وَلَيْسَ هَذَا حَدِيثًا صَحِيحًا
وَلَا ضَعِيفًا . وَاَللَّهُ أَعْلَمُ (مجموع الفتاوى –24 / 165)
"Ibnu Taimiyah ditanya tentang seseorang
yang membaca tahlil tujuh puluh ribu kali dan dihadiahkan kepada mayit sebagai
pembebas dari api neraka, apakah ini hadis sahih atau tidak? Ibnu Taimiyah menjawab:
Jika seseorang membaca tahlil sebanyak tujuh puluh ribu, atau kurang, atau
lebih banyak, lalu dihadiahkan kepada mayit, maka Allah akan menyampaikannya.
Hal ini bukan hadis sahih atau dlaif" (Majmu' al-Fatawa 24/165)
Di bagian lain Ibnu Taimiyah juga
mengeluarkan fatwa yang seharusnya juga dijadikan pedoman bagi pengikutnya
untuk turut mengamalkan tahlilan:
وَسُئِلَ : عَنْ قِرَاءَةِ أَهْلِ الْمَيِّتِ تَصِلُ
إلَيْهِ ؟ وَالتَّسْبِيحُ وَالتَّحْمِيدُ وَالتَّهْلِيلُ وَالتَّكْبِيرُ إذَا
أَهْدَاهُ إلَى الْمَيِّتِ يَصِلُ إلَيْهِ ثَوَابُهَا أَمْ لَا ؟ فَأَجَابَ :
يَصِلُ إلَى الْمَيِّتِ قِرَاءَةُ أَهْلِهِ وَتَسْبِيحُهُمْ وَتَكْبِيرُهُمْ
وَسَائِرُ ذِكْرِهِمْ لِلَّهِ تَعَالَى إذَا أَهْدَوْهُ إلَى الْمَيِّتِ وَصَلَ
إلَيْهِ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ (مجموع الفتاوى –24 / 165)
"Ibnu Taimiyah ditanya mengenai bacaan
keluarga mayit yang terdiri dari tasbih, tahmid, tahlil dan takbir, apabila
mereka menghadiahkan kepada mayit apakah pahalanya bisa sampai atau tidak? Ibnu
Taimiyah menjawab: Bacaan kelurga mayit bisa sampai, baik tasbihnya, takbirnya
dan semua dzikirnya, karena Allah Ta'ala. Apabila mereka menghadiahkan kepada
mayit, maka akan sampai kepadanya" (Majmu' al-Fatawa 24/165)
Bahkan, Muhammad bin Abdul Wahhab,
pendiri aliran Wahhabi, di dalam kitabnya Ahkam Tamanni al-Maut hal. 74
mencantumkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi dan yang lain dari
Ibnu Abbas secara Marfu':
" مَا الْمَيِّتُ فِي قَبْرِهِ إِلاَّ كَالْغَرِيْقِ
الْمُتَغَوِّثِ يَنْتَظِرُ دَعْوَةً تَلْحَقُهُ مِنْ أَبٍ أَوْ مِنْ أَخٍ أَوْ
صَدِيْقٍ فَإِذَا لَحِقَتْهُ كَانَتْ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا
فِيْهَا وَاِنَّ اللهَ لَيُدْخِلُ عَلَى اَهْلِ اْلقُبُوْرِ مِنْ دُعَاءِ اَهْلِ
اْلاَرْضِ اَمْثَالَ الْجِبَالِ وَإِنَّ هَدَايَا اْلأَحْيَاءِ لِلْأَمْوَاتِ
اْلاِسْتِغْفَارُ لَهُمْ"
"Keadaan mayit di dalam kuburnya tak lain seperti
orang tenggelam yang meminta pertolongan. Ia menunggu doa dari bapaknya,
saudaranya dan temannya. Jika doa telah sampai kepadanya, maka baginya lebih
berharga daripada dunia dan seisinya. Sesungguhnya Allah memasukkan doa dari
orang hidup ke dalam alam kubur laksana sebesar gunung-gunung. Dan sesungguhnya
hadiah dari orang yang hidup kepada orang yang mati adalah istighfar (minta
ampunan bagi mereka)"
-
Susunan Dzikir dalam Tahlil
وَسُئِلَ : عَنْ رَجُلٍ يُنْكِرُ عَلَى أَهْلِ الذِّكْرِ
يَقُولُ لَهُمْ : هَذَا الذِّكْرُ بِدْعَةٌ وَجَهْرُكُمْ فِي الذِّكْرِ بِدْعَةٌ
وَهُمْ يَفْتَتِحُونَ بِالْقُرْآنِ وَيَخْتَتِمُونَ ثُمَّ يَدْعُونَ
لِلْمُسْلِمِينَ الْأَحْيَاءِ وَالْأَمْوَاتِ وَيَجْمَعُونَ التَّسْبِيحَ
وَالتَّحْمِيدَ وَالتَّهْلِيلَ وَالتَّكْبِيرَ وَالْحَوْقَلَةَ وَيُصَلُّونَ عَلَى
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْمُنْكِرُ يُعْمِلُ السَّمَاعَ
مَرَّاتٍ بِالتَّصْفِيقِ وَيُبْطِلُ الذِّكْرَ فِي وَقْتِ عَمَلِ السَّمَاعِ
" فَأَجَابَ : الِاجْتِمَاعُ لِذِكْرِ اللَّهِ وَاسْتِمَاعِ كِتَابِهِ
وَالدُّعَاءِ عَمَلٌ صَالِحٌ وَهُوَ مِنْ أَفْضَلِ الْقُرُبَاتِ وَالْعِبَادَاتِ
فِي الْأَوْقَاتِ فَفِي الصَّحِيحِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ : { إنَّ لِلَّهِ مَلَائِكَةً سَيَّاحِينَ فِي الْأَرْضِ
فَإِذَا مَرُّوا بِقَوْمِ يَذْكُرُونَ اللَّهَ تَنَادَوْا هَلُمُّوا إلَى
حَاجَتِكُمْ } وَذَكَرَ الْحَدِيثَ (مجموع الفتاوى –22 / 302)
"Ibnu Taimiyah ditanya
tentang seseorang yang ingkar terhadap kelompok ahli dzikir. Ia berkata bahwa
dzikir ini bid'ah, suara keras dalam dzikir juga bid'ah. Kelompok ahli dzikir
ini memulai dengan bacaan al-Quran dan mengkhatamkannya, kemudian berdoa untuk
umat Islam baik yang masih hidup atau yang sudah mati. Mereka mengumpulkan
bacaan tasbih, tahmid, tahlil, takbir, hauqalah dan bershalawat kepada
Rasulullah Saw….? Ibnu Taimiyah menjawab: Berkumpul untuk berdzikir kepada
Allah, mendengarkan bacaan al-Quran dan doa, adalah amal shaleh dan bentuk
pendekatan diri atau ibadah yang paling utama dalam beberapa waktu. Dalam hadis
sahih Rasulullah Saw bersabda: Sesungguhnya Allah memiliki malaikat yang
berpatroli di bumi. Apabila mereka berjumpa dengan kaum yang berdzikir kepada
Allah, maka malaikat tersebut berseru: Kemarilah untuk memenuhi hajat
kalian…" (Majmu' al-Fatawa 22/302)
-
Baca al-Quran di Kuburan
Membaca al-Quran di kuburan berdasarkan dalil hadis berikut ini:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ
سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ إِذَا مَاتَ
أَحَدُكُمْ فَلاَ تَحْبِسُوْهُ وَأَسْرِعُوْا بِهِ إِلَى قَبْرِهِ وَلْيُقْرَأْ
عِنْدَ رَأْسِهِ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَعِنْدَ رِجْلَيْهِ بِخَاتِمَةِ سُوْرَةِ
الْبَقَرَةِ فِي قَبْرِهِ (رواه الطبراني في الكبير رقم 13613 والبيهقي في الشعب
رقم 9294 وتاريخ يحي بن معين 4 / 449)
"Diriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata:
Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda: Jika diantara kalian ada yang
meninggal, maka janganlah diakhirkan, segeralah dimakamkan. Dan hendaklah di
dekat kepalanya dibacakan pembukaan al-Quran (Surat al-Fatihah) dan dekat
kakinya dengan penutup surat al-Baqarah di kuburnya" (HR al-Thabrani dalam
al-Kabir No 13613, al-Baihaqi dalam Syu'ab al-Iman No 9294, dan Tarikh Yahya
bin Maid 4/449)
Al-Hafidz Ibnu Hajar memberi penilaian pada hadis tersebut:
فَلاَ تَحْبِسُوْهُ وَأَسْرِعُوْا بِهِ إِلَى قَبْرِهِ أَخْرَجَهُ
الطَّبْرَانِي بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ (فتح الباري لابن حجر 3 / 184)
"HR al-Thabrani dengan sanad yang hasan" (Fath al-Bari
III/184)
Imam al-Nawawi mengutip
kesepakatan ulama Syafi'iyah tentang membaca al-Quran di kuburan:
وَيُسْتَحَبُّ (لِلزَّائِرِ) اَنْ يَقْرَأَ مِنَ
الْقُرْآنِ مَا تَيَسَّرَ وَيَدْعُوَ لَهُمْ عَقِبَهَا نَصَّ عَلَيْهِ
الشَّافِعِيُّ وَاتَّفَقَ عَلَيْهِ اْلاَصْحَابُ (المجموع شرح المهذب للشيخ النووي
5 / 311)
"Dan dianjurkan bagi peziarah untuk
membaca al-Quran sesuai kemampuannya dan mendoakan ahli kubur setelah membaca
al-Quran. Hal ini dijelaskan oleh al-Syafi'i dan disepakati oleh ulama
Syafi'iyah" (al-Nawawi, al-Majmu' Syarh al-Muhadzdzab V/311)
قَالَ الشَّافِعِي وَاْلأَصْحَابُ : يُسْتَحَبُّ أَنْ
يَقْرَؤُوْا عِنْدَهُ شَيْئًا مِنَ اْلقُرْآنِ ، قَالُوْا : فَإِنْ خَتَمُوْا
الْقُرْآنَ كُلَّهُ كَانَ حَسَنًا
(الأذكار النووية -1 / 162)
"Imam Syafii dan para sahabatnya berkata:
Disunahkan membaca sebagian dari al-Quran di dekat kuburnya. Mereka berkata:
Jika mereka mengkhatamkan al-Quran keseluruhan, maka hal itu dinilai
bagus" (al-Adzkar dan al-Majmu' karya Imam al-Nawawi)
وَقَالَ الْحَسَنُ بْنُ الصَّبَّاحُ الزَّعْفَرَانِي
سَأَلْتُ الشَّافِعِيَّ عَنِ اْلقِرَاءَةِ عِنْدَ الْقَبْرِ فَقَالَ لاَ بَأْسَ
بِهَا (الروح لابن القيم –1 / 11)
Al-Za'farani bertanya
kepada Imam Syafii tentang membaca al-Quran di kuburan. Beliau menjawab: Tidak
apa-apa (al-Ruh, Ibnu Qoyyim, I/11)
وَذَكَرَ الْخَلاَّلُ عَنِ الشُّعْبِي قَالَ كَانَتِ
اْلأَنْصَارُ إِذَا مَاتَ لَهُمُ الْمَيِّتُ اِخْتَلَفُوْا إِلَى قَبْرِهِ
يَقْرَءُوْنَ عِنْدَهُ الْقُرْآنَ (الروح لابن القيم - 1 / 11)
"Al-Khallah mengutip dari al-Syu'bi bahwa
jika salah seorang dari sahabat Anshar meninggal, maka mereka bergiliran
membaca al-Quran di kuburannya" (al-Ruh, Ibnu Qoyyim, I/11)
قَالَ الْخَلاَّلُ وَأَخْبَرَنِي الْحَسَنُ بْنُ
أَحْمَدَ الْوَرَّاقُ حَدَّثَنِى عَلِىُّ بْنُ مُوْسَى الْحَدَّادُ وَكَانَ
صَدُوْقًا قَالَ كُنْتُ مَعَ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلَ وَمُحَمَّدٍ بْنِ قُدَامَةَ
الْجَوْهَرِى فِي جَنَازَةٍِ فَلَمَّا دُفِنَ الْمَيِّتُ جَلَسَ رَجُلٌ ضَرِيْرٌ
يَقْرَأُ عِنْدَ الْقَبْرِ فَقَالَ لَهُ أَحْمَدُ يَا هَذَا إِنَّ اْلقِرَاءَةَ
عِنْدَ الْقَبْرِ بِدْعَةٌ فَلَمَّا خَرَجْنَا مِنَ الْمَقَابِرِ قَالَ مُحَمَّدُ
بْنُ قُدَامَةَ ِلأَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلَ يَا أَبَا عَبْدِ اللهِ مَا تَقُوْلُ فِي
مُبَشِّرٍ الْحَلَبِيّ قَالَ ثِقَةٌ قَالَ كَتَبْتَ عَنْهُ شَيْئًا ؟ قَالَ نَعَمْ
فَأَخْبَرَنِي مُبَشِّرٌ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ اْلعَلاَءِ اللَّجَّاجِ
عَنْ أَبِيْهِ أَنَّهُ أَوْصَى إِذَا دُفِنَ أَنْ يُقْرَأَ عِنْدَ رَأْسِهِ
بِفَاتِحَةِ الْبَقَرَةِ وَخَاتِمَتِهَا وَقَالَ سَمِعْتُ ابْنَ عُمَرَ يُوْصِي
بِذَلِكَ فَقَالَ لَهُ أَحْمَدُ فَارْجِعْ وَقُلْ لِلرَّجُلِ يَقْرَأُ (الروح لابن
القيم - 1 / 10)
"Ali bin Musa al-Haddad (orang yang
sangat jujur) berkata: Saya bersama Ahmad bin Hanbal dan Muhammad Ibnu Qudamah
al-Jauhari menghadiri pemakaman janazah. Setelah dimakamkan, ada orang
laki-laki buta membaca al-Quran di dekat kubur tersebut. Ahmad berkata
kepadanya: Wahai saudara! Membaca di dekat kubur adalah bid'ah. Setelah kami
keluar dari kuburan, Muhammad ibnu Qudamah bertanya kepada Ahmad bin Hanbal:
Wahai Abu Abdillah. Apa penilaianmu tentang Mubasysyir al-Halabi? Ahmad
menjawab: Ia orang terpercaya. Ibnu Qudamah bertanya lagi: Apakah engkau
meriwayatkan hadis dari Mubasysyir? Ahmad bin Hanbal menjawab: Ya. Saya
mendapatkan riwayat dari Mubasysyir bin Abdirrahman dari ayahnya, bahwa ayahnya
berpesan agar setelah dimakamkan dibacakan di dekat kepalanya dengan pembukaan
al-Baqarah dan ayat akhirnya. Ayahnya berkata bahwa ia mendengar Ibnu Umar
berwasiat seperti itu juga. Kemudian Imam Ahmad berkata kepada Ibnu Qudamah:
Kembalilah, dan katakan pada lelaki tadi agar membacanya!" (al-Ruh, Ibnu
Qayyim, I/11)
Ustadz Ma'ruf Khozin
Ketua LBM PCNU Kota Surabaya, Anggota LBM PWNU Jatim dan Nara Sumber
Hujjah Aswaja tv9.
TAHLILI SAJA MAYITMU SAMPAI 7 HARI, NO PROBLEM
!
Luthfi Bashori
Jika ada di antara umat Islam, yang
benar-benar penganut Ahlus sunnah wal jamaah, tengah mendapatkan musibah
ditinggal wafat oleh anggota keluarganya, maka hendaklah handai taulan mayit
itu mengamalkan ajaran para Shahabat Nabi SAW dan para Tabi`in, yaitu
mentahlili mayitnya itu selama 7 hari.
Adapun salah satu ajaran
para Shahabat dan para Tabi`in itu telah diriwayatkan oleh Imam Suyuthi
Rahimahullah dalam kitab Al-Hawi li al-Fatawi-nya, beliau mengatakan bahwa Imam
Thawus Attabi`i berkata: Sungguh orang-orang yang telah meninggal dunia itu difitnah
(diuji) dalam kuburannya selama 7 hari, karena itu mereka (para shahabat Nabi
SAW) menganjurkan (bersedekah) memberi makanan atas nama para mayit itu pada
hari-hari tersebut .
Dalam riwayat lain disebutkan: Dari Ubaid bin Umair
beliau berkata: Dua orang yakni seorang mukmin dan seorang munafiq memperoleh
fitnah kubur. Adapun seorang mukmin maka ia difitnah (diuji) selama tujuh hari,
sedangkan seorang munafiq disiksa selama empat puluh hari. Menurut Imam
Suyuthi, para perawinya adalah shahih. (al-Hawi) li al-Fatawi, juz III hlm.
266-273, Imam As-Suyuthi).
Adapun, sebagaimana dimaklumi oleh umat Islam, bahwa
sedekah itu sendiri dalam pandangan syariat adalah bervariatif, sebagaimana
disebut dalam sabda Nabi SAW:
Bukankah Allah telah menjadikan untuk kalian sesuatu yang
kalian bisa sedekahkan? Sesungguhnya setiap ucapan tasbih adalah sedekah,
setiap takbir adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap ucapan
tahlil adalah sedekah, amar ma`ruf adalah sedekah, nahi munkar adalah sedekah,
dan pada kemaluan kalian juga terdapat sedekah. Mereka bertanya, Wahai
Rasulullah, apakah orang yang mendatangi syahwatnya di antara kami juga akan
mendapatkan pahala? Beliau menjawab, Bagaimana menurut kalian jika dia
menyalurkan syahwatnya pada sesuatu yang haram, apakah dia akan mendapat dosa?
Maka demikian pula jika dia menyalurkannya pada sesuatu yang halal, dia pun
akan mendapatkan pahala. (HR. Muslim)
Dari Abu Hurairah RA beliau berkata, bahwa Rasulullah SAW
bersabda: Setiap anggota tubuh manusia wajib disedekahi, setiap hari dimana
matahari terbit lalu engkau berlaku adil terhadap dua orang (yang bertikai)
adalah sedekah, engkau menolong seseorang yang berkendaraan lalu engkau bantu
dia untuk naik kendaraanya atau mengangkatkan barangnya adalah sedekah, ucapan
yang baik adalah sedekah, setiap langkah ketika engkau berjalan menuju shalat
adalah sedekah dan menghilangkan gangguan dari jalan adalah sedekah. (HR.
Bukhari dan Muslim).
Adapun dalam kegiatan tahlilan itu sendiri mencakup
pembacaan surat Yasin seperti yang diperintahkan oleh Nabi SAW: Bacakanlah
surat Yasin untuk mayit kalian. (HR. Abu Dawud).
Kemudian membaca kalimat thayyibah seperti: Tahlil,
Takbir, Tahmid, Hasbana, Hauqala, Istighfar, Shalawat Nabi, serta doa-doa untuk
kebaikan mayit, Semua amalan ini termasuk dalam kategori sedekah yang
dianjurkan oleh Nabi SAW sebagai ibadah sunnah.
Belum lagi, keluarga yang ketempatan dalam kegiatan
tahlilan rutin di kampung-kampung, atau para tetangga dari keluarga yang
terkena musibah, umumnya ikut mengeluarkan sedekah berupa suguhan bagi para
pelayat, yang mana amalan ini juga termasuk sunnah bagi umat Islam.
Jadi menentukan tahlilan untuk mayit dalam keadaan
apapun, serta dalam waktu kapanpun, khususnya memilih waktu pada hari ke 1, 2,
3, 4, 5, 6, 7 itu bukanlah tradisi Hindu seperti yang dituduhkan oleh kaum
Wahhabi, namun telah dicontohkan dan diamalkan oleh para Shahabat dan para
Tabi`in sebagaimana tersebut di atas.
< # # # # # # # # # # # # # # # # # # >
MENGENAL IMAM THAWUS
Beliau adalah Abu Abdirrahman Thawus bin Kaisan al-Yamani
al-Himyari maula Bakhir bin Kuraisan al-Himyari, termasuk keturunan bangsa
Persia. Ibu beliau dari keturunan Persia, sedang ayah beliau dari Qasith.
Beliau termasuk kibaar at-taabiiin, sangat dikenal dalam
memberi wasiat dan nasihat, dan tidak gentar dalam meluruskan setiap kesalahan.
Sebab itu, beliau banyak disegani oleh setiap kaum muslimin sampaipun oleh para
raja dan khalifah kaum muslimin.
Ada yang berkata bahwa nama asli beliau adalah Dzakwan,
sedangkan Thawus adalah nama julukan. Diriwayatkan dari Yahya bin Ma`in ia
berkata, Beliau dijuluki Thawus (burung merak) karena beliau banyak menimba
ilmu (berkeliling) kepada para qurraa (ahli qiraah). [Tahdzibul Kamal 13/357]
Beliau lahir di zaman para sahabat, sehingga beliau
banyak berjumpa dan menimba ilmu dari para sahabat Rasulullah shallallaahu
alaihi wasallam, di antaranya adalah Jabir bin Abdillah, Abdullah bin Abbas,
Mu`adz bin Jabal, Abdullah bin Umar, Abu Hurairah radhiyallaahu anhum, dan para
kibaar ash-shahaabah lainnya. Bahkan beliau juga menimba ilmu kepada Ummul
Mukminin Aisyah radhiyallaahu anhaa.
Demikian ilmu dan pemahaman yang beliau dapatkan dari
para pendahulunya itu pun beliau ajarkan kepada orang-orang yang setelahnya,
karena merekalah para penerus dakwah. Sebut saja di antara murid-murid beliau
yang ternama seperti Wahb bin Munabbih, Atha bin Abi Rabah, Amr bin Dinar,
Mujahid, Laits bin Abi Salim rahimahumullaah-, dan yang lainnya.
Berkata adz-Dzahabi rahimahullaah, Aku berpendapat bahwa
beliau dilahirkan pada masa khilafah Utsman radhiyallaahu anhu atau sebelum
itu. [Siyar Alam an-Nubala 5/38]
Diriwayatkan dari Abdul Malik bin Maisarah dari Thawus
rahimahullaah ia mengatakan, Sungguh aku bertemu dengan 50 orang
sahabat-sahabat Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam. [Tahdzibut Tahdzib
5/9].
PUJIAN ULAMA KEPADA IMAM THAWUS
Beliau memiliki bagian yang banyak dalam hal mengambil
ilmu dan mengajarkan kepada umat, yang dengan itulah nama beliau tidak asing
bagi para penuntut ilmu.
Berkata Ibnu Hibban rahimahullah,Thawus adalah ahli
ibadah penduduk Yaman, ahli fiqih mereka, dan termasuk salah satu pembesar
tabiin. [Ats-Tsiqat 4/391]
Berkata Hubaib bin asy-Syahid rahimahullaah, Aku berada
di sisi Amr bin Dinat lalu disebutlah perihal Thawus, lalu ia (Amr bin Dinar)
mengatakan, Aku tidak melihat seorang pun yang semisal Thawus. [Al-Jarh wat
Ta`dil 4/2203]
Dari Utsman bin Said rahimahullaah ia berkata, Aku
berkata kepada Yahya bin Main, Apakah Thawus lebih engkau cintai atau Said bin
Zubair? Beliau menjawab, Ia seorang yang tsiqah yang tidak diperbandingkan.
Atha bin Abi Rabah [lihat biografi beliau pada majalah
AL-FURQON edisi 107] rahimahullaah meriwayatkan dari Abdullah bin Abbas
radhiyallaahu anhumaa bahwa beliau mengatakan, Sungguh aku menyangka bahwa
Thawus adalah termasuk penduduk surga. [Siyar Alam an-Nubala 5/39].
TRADISI TAHLILAN SUDAH ADA DARI ZAMAN SAHABAT
NABI SAW
Masih tertulis oleh
mereka yaitu tuduhan – tuduhan para Wahabi – Salafy, bahwa ” ORANG YANG
MENGADAKAN TAHLILAN DERAJATNYA LEBIH RENDAH DARI SEORANG PELACUR !!”, dan
tuduhan – tuduhan seperti : ” TAHLILAN BERASAL DARI AGAMA HINDU”, sungguh para
pengikut Wahabi – Salafy hanya dipenuhi dengan ajaran kebencian yang setiap
hari diisi dengan fatwa – fatwa : Takfir, Tabdi’ & Musyrik.
Para ulama mengajarkan
kepada umat Islam agar selalu mendo’akan keluarganya yang telah meninggal dunia
selama 7 hari berturut-turut…..
Telah banyak beredar
dari kalangan salafi wahhabi yang menyatakan bahwa tradisi tahlilan sampai
tujuh hari diadopsi dari adat kepercayaan agama Hindu. Benarkah anggapan dan
asumsi mereka ini?
Sungguh anggapan mereka
salah besar dan vonis yang tidak berdasar sama sekali. Justru ternyata tradisi
tahlilan selama tujuh hari dengan menghidangkan makanan, merupakan tradisi para
sahabat Nabi Muhammad Saw dan para tabi’in. (Baca : Mengikuti Amal Sahabat Nabi
Adalah Perintah Allah & Nabi Muhammad saw)
BILANGAN YANG DI KUMPULKAN ULAMA SEUMPAMA 3 HARI, 7 HARI, 40 HARI, DST
Tak pernah ada anggapan
akan kewajiban atau sunnahnya mendoakan para mayyit di hari-hari tsb, karena
setiap hari pun kita semua mendoakan mereka, tak bedanya apabila kita
bersekolah/ belajar setiap hari senin sampai sabtu (6 hari) atau kaum Salafy
mengadakan dauroh setiap hari ahad, karena kita semua pasti berpendapat hari
diluar hari itupun bisa, tak hanya beberapa hari yang disebutkan tadi saja, dan
tak pernah ada anggapan dan tuduhan mereka yang dauroh menyerupai Nasrani yang
beribadah di hari tsb .
Ahmad bin Mani’ meriwayatkan
dalam Musnad-nya dari jalur al-Ahnaf bin Qais yang berkata: “Setelah Khalifah
Umar bin al-Khaththab ditikam, maka beliau menginstruksikan agar Shuhaib yang
bertindak sebagai imam shalat selama tiga hari dan memerintahkan menyuguhkan
makanan bagi orang-orang yang datang bertakziyah.” Menurut al-Hafizh Ibn Hajar,
sanad hadits ini bernilai hasan. (Lihat al-Hafizh Ibn Hajar, al-Mathalib
al-‘Aliyah fi Zawaid al-Masanid al-Tsamaniyah, juz 1, hlm. 199, hadits no.
709).
Imam Ahmad bin Hanbal,
seorang ahli hadits kenamaan mengatakan bahwa beliau mendapatkan riwayat dari
Hasyim bin al-Qasim, yang mana beliau meriwayatkan dari Al-Asyja’i, yang beliau
sendiri mendengar dari Sofyan, bahwa Imam Thawus bin Kaisan radliyallahu ‘anhu
pernah berkata :
إن الموتى يفتنون في قبورهم سبعا، فكانوا يستحبون أن
يطعم عنهم تلك الأيام
“Sesungguhnya orang
mati difitnah (diuji dengan pertanyaan malaikat) didalam quburnya selama 7
hari, dan “mereka” menganjurkan (mensunnahkan) agar memberikan makan
(pahalanya) untuk yang meninggal selama 7 hari tersebut”.
Riwayat ini sebutkan
oleh Imam Ahmad Ahmad bin Hanbal didalam az-Zuhd [1]. Imam Abu Nu’aim
al-Ashbahani (w. 430 H) juga menyebutkannya didalam Hilyatul Auliya’ wa
Thabaqatul Ashfiyah.[2] Sedangkan Thawus bin Kaisan al-Haulani al-Yamani adalah
seorang tabi’in (w. 106 H) ahli zuhud, salah satu Imam yang paling luas
keilmuannya. [3] Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974) dalam al-Fatawa al-Fiqhiyyah
al-Kubraa dan Imam al-Hafidz as-Suyuthi (w. 911 H) dalam al-Hawil lil-Fatawi
mengatakan bahwa dalam riwayat diatas mengandung pengertian bahwa kaum Muslimin
telah melakukannya pada masa Rasulullah, sedangkan Rasulullah mengetahui dan
taqrir terhadap perkara tersebut. Dikatakan (qil) juga bahwa para sahabat
melakukannya namun tidak sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa
sallam. Atas hal ini kemudian dikatakan bahwa khabar ini berasal dari seluruh
sahabat maka jadilah itu sebagai Ijma’, dikatakan (qil) hanya sebagian shahabat
saja, dan masyhur dimasa mereka tanpa ada yang mengingkarinya. [4]
Ini merupakan anjuran
(kesunnahan) untuk mengasihi (merahmati) mayyit yang baru meninggal selama
dalam ujian didalam kuburnya dengan cara melakukan kenduri shadaqah makan
selama 7 hari yang pahalanya untuk mayyit. Kegiatan ini telah dilakukan oleh
para sahabat, difatwakan oleh mereka. Sedangkan ulama telah berijma’ bahwa
pahala hal semacam itu sampai dan bermanfaat bagi mayyit.[5] Kegiatan semacam
ini juga berlangsung pada masa berikutnya, sebagaimana yang dikatakan oleh
al-Imam al-Hafidz as-Suyuthiy ;
“Sesungguhnya sunnah
memberikan makan selama 7 hari, telah sampai kepadaku (al-Hafidz) bahwa
sesungguhnya amalan ini berkelanjutan dilakukan sampai sekarang (masa
al-Hafidz) di Makkah dan Madinah. Maka secara dhahir, amalan ini tidak pernah
di tinggalkan sejak masa para shahabat Nabi hingga masa kini (masa al-Hafidz
as-Suyuthi), dan sesungguhnya generasi yang datang kemudian telah mengambil
amalan ini dari pada salafush shaleh hingga generasai awal Islam. Dan didalam
kitab-kitab tarikh ketika menuturkan tentang para Imam, mereka mengatakan
“manusia (umat Islam) menegakkan amalan diatas kuburnya selama 7 hari dengan
membaca al-Qur’an’. [6]
Di dalam kitab kitab
“Al-Hawi lil Fatawi” karya Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi jilid 2
halaman 194 diterangkan sebagai berikut:
ان سنة الاطعام سبعة أيام بلغنى أنهامستمر الى الأن بمكة
و المدينة فالظاهر أنها لم تترك من عهد الصحابة الى الأن و انهم أخذوها خلفا عن
سلف الى الصدر الأول
Artinya:
“Sesungguhnya, kesunnahan memberikan sedekah
makanan selama tujuh hari merupakan perbuatan yang tetap berlaku sampai
sekarang (yaitu masa Imam Suyuthi abad ke-9 H) di Mekkah dan Madinah. Yang
jelas kebiasaan tersebut tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat sampai
sekarang, dan tradisi tersebut diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama,
yaitu sahabat.
Shadaqah seperti yang
dilakukan diatas berlandaskan hadits Nabi yang banyak disebutkan dalam berbagai
riwayat. [7] Lebih jauh lagi dalam hadits mauquf dari Sayyidina Umar bin
Khaththab, disebutkan dalam al-Mathalib al-‘Aliyah (5/328) lil-Imam al-Hafidz
Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852) sebagai berikut :
قال أحمد بن منيع حدثنا يزيد بن هارون حدثنا حماد بن
سلمة عن علي بن زيد عن الحسن عن الحنف بن قيس قال كنت أسمع عمر رَضِيَ الله عَنْه
يقول لا يدخل أحد من قريش في باب إلا دخل معه ناس فلا أدري ما تأويل قوله حتى طعن
عمر رَضِيَ الله عَنْه فأمر صهيبا رَضِيَ الله عَنْه أن يصلي بالناس ثلاثا وأمر أن
يجعل للناس طعاماً فلما رجعوا من الجنازة جاؤوا وقد وضعت الموائد فأمسك الناس عنها
للحزن الذي هم فيه فجاء العباس بن عبد المطلب رَضِيَ الله عَنْه فقال يا أيها
الناس قد مات الحديث وسيأتي إن شاء الله تعالى بتمامه في مناقب عمر رَضِيَ الله
عَنْه
“Ahmad
bin Mani’ berkata, telah menceritakan kepada kami Yazid bin Harun, menceritakan
kepada kami Hammad bin Salamah dari ‘Ali bin Zayd, dari al-Hasan, dari al-Ahnaf
bin Qays, ia berkata : aku pernah mendengar ‘Umar radliyallahu ‘anh mengatakan,
seseorang dari Quraisy tidak akan masuk pada sebuah pintu kecuali seseorang
masuk menyertainya, maka aku tidak mengerti apa yang maksud perkataannya sampai
‘Umar radliyallahu ‘anh di tikam, maka beliau memerintahkan Shuhaib
radliyallahu ‘anh agar shalat bersama manusia selama tiga hari, dan juga
memerintahkan agar membuatkan makanan untuk manusia. Setelah mereka kembali
(pulang) dari mengantar jenazah, dan sungguh makanan telah dihidangkan, maka
manusia tidak mau memakannya karena sedih mereka pada saat itu, maka sayyidina
‘Abbas bin Abdul Muththalib radliyallahu ‘anh datang, kemudian berkata ;
wahai.. manusia sungguh telah wafat .. (al-hadits), dan InsyaAllah selengkapnya
dalam Manaqib ‘Umar radliyallah ‘anh”.
Hikmah dari hadits ini
adalah bahwa adat-istiadat amalan seperti Tahlilan bukan murni dari bangsa
Indonesia, melainkan sudah pernah dicontohkan sejak masa sahabat, serta para
masa tabi’in dan seterusnya. Karena sudah pernah dicontohkan inilah maka
kebiasaan tersebut masih ada hingga kini.
Riwayat diatas juga
disebutkan dengan lengkap dalam beberapa kitab antara lain Ithaful Khiyarah
(2/509) lil-Imam Syihabuddin Ahmad bin Abi Bakar al-Bushiriy al-Kinani (w.
840).
وعن الأحنف بن قيس قال: “كنت أسمع عمر بن الحنطاب- رضي
الله عنه- يقول: لا يدخل رجل من قريش في باب إلا دخل معه ناس. فلا أدري ما تأويل
قوله، حتى طعن عمر فأمر صهيبا أن يصلي بالناس ثلاثا، وأمر بأن يجعل للناس طعاما،
فلما رجعوا من الجنازة جاءوا وقد وضعت الموائد فأمسك الناس عنها للحزن الذي هم
فيه، فجاء العباس بن عبد المطلب قال: يا أيها الناس، قد مات رسول الله – صلى الله
عليه وسلم – فأكلنا بعده وشربنا، ومات أبو بكر فأكلنا بعده وشربنا، أيها الناس
كلوا من هذا الطعام. فمد يده ومد الناس أيديهم فأكلوا، فعرفت تأويل قوله “.رواه
أحمد بن منيع بسند فيه علي بن زيد بن جدعان
“Dan
dari al-Ahnaf bin Qays, ia berkata : aku mendengar ‘Umar bin Khaththab
radliyallahu ‘anh mengatakan, seseorang dari Quraisy tidak akan masuk pada
sebuah pintu kecuali manusia masuk bersamanya. Maka aku tidak maksud dari
perkataannya, sampai ‘Umar di tikam kemudian memerintahkan kepada Shuhaib agar
shalat bersama manusia dan membuatkan makanan hidangan makan untuk manusia
selama tiga hari. Ketika mereka telah kembali dari mengantar jenazah, mereka
datang dan sungguh makanan telah dihidangkan namun mereka tidak menyentuhnya
karena kesedihan pada diri mereka. Maka datanglah sayyidina ‘Abbas bin Abdul
Muththalib, seraya berkata : “wahai manusia, sungguh Rasulullah shallallahu
‘alayhi wa sallam telah wafat, dan kita semua makan dan minum setelahnya, Abu
Bakar juga telah wafat dan kita makan serta minum setelahnya, wahai manusia..
makanlah oleh kalian dari makanan ini, maka sayyidina ‘Abbas mengulurkan
tanggan (mengambil makanan), diikuti oleh yang lainnya kemudian mereka semua
makan. Maka aku (al-Ahnaf) mengetahui maksud dari perkataannya. Ahmad bin Mani
telah meriwayatkannya dengan sanad didalamnya yakni ‘Ali bin Zayd bin Jud’an”.
Disebutkan juga Majma’
az-Zawaid wa Manba’ul Fawaid (5/159) lil-Imam Nuruddin bin ‘Ali al-Haitsami (w.
807 H), dikatakan bahwa Imam ath-Thabrani telah meriwayatkannya, dan didalamnya
ada ‘Ali bin Zayd, dan haditsnya hasan serta rijal-rijalnya shahih ; Kanzul
‘Ummal fiy Sunanil Aqwal wa al-Af’al lil-Imam ‘Alauddin ‘Ali al-Qadiriy
asy-Syadili (w. 975 H) ; Thabaqat al-Kubra (4/21) lil-Imam Ibni Sa’ad (w. 230
H) ; Ma’rifatu wa at-Tarikh (1/110) lil-Imam Abu Yusuf al-Farisi al-Fasawi (w.
277 H) ; Tarikh Baghdad (14/320) lil-Imam Abu Bakar Ahmad al-Khathib
al-Baghdadi (w. 463 H).
Imam Suyuthi
Rahimahullah dalam kitab Al-Hawi li al-Fatawi-nya mengtakan :
قال طاووس : ان الموتى يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا
يستحبون ان يطعموا عنهم تلك الايام
“
Thowus berkata: “Sungguh orang-orang yang telah meninggal dunia difitnah dalam
kuburan mereka selama tujuh hari, maka mereka (sahabt Nabi) gemar (bersedekah)
menghidangkan makanan sebagai ganti dari mereka yang telah meninggal dunia pada
hari-hari tersebut “.
Sementara dalam riwayat
lain :
عن عبيد بن عمير قال : يفتن رجلان مؤمن ومنافق, فاما
المؤمن فيفتن سبعا واماالمنافق فيفتن اربعين صباحا
“
Dari Ubaid bin Umair ia berkata: “Dua orang yakni seorang mukmin dan seorang
munafiq memperoleh fitnah kubur. Adapun seorang mukmin maka ia difitnah selama
tujuh hari, sedangkan seorang munafiq disiksa selama empat puluh hari “.
Dalam menjelaskan dua
atsar tersebut imam Suyuthi menyatakan bahwa dari sisi riwayat, para perawi
atsar Thowus termasuk kategori perawi hadits-hadits shohih.
Thowus yang wafat tahun
110 H sendiri dikenal sebagai salah seorang generasi pertama ulama negeri Yaman
dan pemuka para tabi’in yang sempat menjumpai lima puluh orang sahabat Nabi
Saw. Sedangkan Ubaid bin Umair yang wafat tahun 78 H yang dimaksud adalah
al-Laitsi yaitu seorang ahli mauidhoh hasanah pertama di kota Makkah dalam masa
pemerintahan Umar bin Khoththob Ra.
Menurut imam Muslim
beliau dilahirkan di zaman Nabi Saw bahkan menurut versi lain disebutkan bahwa
beliau sempat melihat Nabi Saw. Maka berdasarkan pendapat ini beliau termasuk
salah seorang sahabat Nabi Saw.
Sementara bila ditinjau
dalam sisi diroyahnya, sebgaimana kaidah yang diakui ulama ushul dan ulama
hadits bahwa: “Setiap riwayat seorang sahabat Nabi Saw yang ma ruwiya mimma la
al-majalla ar-ra’yi fiih (yang tidak bisa diijtihadi), semisal alam barzakh dan
akherat, maka itu hukumnya adalah Marfu’ (riwayat yang sampai pada Nabi Saw),
bukan Mauquf (riwayat yang terhenti pada sahabat dan tidak sampai kepada Nabi
Saw).
Menurut ulama ushul dan
hadits, makna ucapan Thowus ;
ان الموتى يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون ان
يطعموا عنهم تلك الايام
berkata: “Sungguh
orang-orang yang telah meninggal dunia difitnah dalam kuburan mereka selama
tujuh hari, maka mereka (sahabt Nabi) gemar (bersedekah) menghidangkan makanan
sebagai ganti dari mereka yang telah meninggal dunia pada hari-hari tersebut “,
adalah para sahabat Nabi Saw telah melakukannya dan dilihat serta diakui keabsahannya
oleh Nabi Saw sendiri.
(al-Hawi) li al-Fatawi,
juz III hlm. 266-273, Imam As-Suyuthi).
Maka
tradisi bersedekah selama mitung dino / tujuh hari atau empat puluh hari pasca
kematian, merupakan warisan budaya dari para tabi’in dan sahabat Nabi Saw,
bahkan telah dilihat dan diakui keabsahannya pula oleh beliau Nabi Muhammad
Saw.
MENGIKUTI SAHABAT NABI ADALAH PERINTAH NABI SAW
Kita sering mendengar
ucapan, selebaran, atau pun tulisan-tulisan yang tersebar baik di media cetak
atau elektronik yang datang dari golongan muda (datang belakangan) yang
mengingkari amal sahabat (meskipun tidak di lakukan Nabi) dengan mengatakan:
“amal Nabi saw lebih saya jalankan ketimbang amal sahabat yang tak pernah
dilakukan Nabi, karena mereka adalah manusia biasa yang bisa saja salah“. atau
mereka katakan : “Cukupkan dengan al-Qur’an & Hadits saja“.
Sebagai contoh golongan
Syi’ah yang mengingkari sholat sunnah tarawih berjamaah yang diprakarsai oleh
Sayyidina Umar bin Khattab, atau dari Salafy yang mengingkari adanya praktek
sholat sunnah Tarawih berjamaah sebanyak 23 rakaat atau lebih yang dilakukan
pula oleh Sayyidina Umar, Pengingkaran adanya acara semacam “Tahlilan” yang
dilakukan oleh Sahabat Nabi (baca disini). Ataupun pengingkaran azan Jum’at dua
kali yang dilakukan oleh Sayyidina Utsman Ra, dlsb.
Pengingkaran-pengingkaran
ini disertai dengan tuduhan kepada kaum muslim yang mengikuti Amal Sahabat Nabi
dengan tuduhan Ahli Bid’ah, Sesat, Syiah, dll. (Na’udzubillah), marilah kita
simak Nasihat berikut ini.
ANJURAN MENGIKUTI SAHABAT NABI SAW ADALAH
PERINTAH ALLAH SWT & NABI MUHAMMAD SAW.
} وَالسَّابِقُونَ اْلأَوَّلُونَ مِنَ
الْمُهَاجِرِينَ وَاْلأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا
اْلأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَآ أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ {100}
“Dan sesungguhnya
manusia-manusia yang mendahului kamu, generasi-generasi yang terawal yang baik
lagi mulia dari kalangan Muhajirin dan Anshar, dan generasi yang mengikuti
mereka dengan baik, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala redha kepada mereka,
dan mereka redha kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” [Surah At-Taubah : 100].
… وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِيْ عَلَى ثَلاَثٍ
وَسَبْعِيْنَ مِلَّةًً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً، قَالُوْا
وَمَنْ هِيَ يَا رَسُوْلَ اللهِ، قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِيْ (رواه
الترمذي)
“… dan akan terpecah
umatku kepada 73 golongan, semuanya masuk neraka kecuali satu golongan.” Mereka
(shahabat) bertanya, “siapakah itu ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Yaitu yang
aku dan para shahabatku berada di atasnya” (yang mengikuti jalanku dan para shahabatku-red)
(HR. Tirmidzi).
PARA SAHABAT NABI ADALAH SEBAIK-BAIK UMMAT NABI MUHAMMAD SAW
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ
ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ.
“Sebaik-baik manusia adalah pada
masaku ini (yaitu masa para Sahabat), kemudian yang sesudahnya (masa Tabi’in),
kemudian yang sesudahnya (masa Tabi’ut Tabi’in).”(HR. Bukhori- Muslim)
Para sahabat adalah sebaik-baik umat ini dan pemimpin mereka. Para
sahabat adalah ulama dan muftinya umat ini ( I’laamul Muwaqqi’iin juz 1 hal 14
oleh Imam Ibnul Qayyim).
SAHABAT NABI ADALAH TAULADAN SETELAH NABI
MUHAMMAD SAW
“Siapa saja yang
mencari teladan, teladanilah para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Karena merekalah orang yang paling baik hatinya diantara umat ini,
paling mendalam ilmu agamanya, umat yang paling sedikit dalam
berlebihan-lebihan, paling lurus bimbingannya, paling baik keadaannya. Allah
telah memilih mereka untuk mendampingi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
menegakkan agama-Nya. Kenalilah keutamaan mereka, dan ikutilah jalan mereka
(Sahabat). Karena mereka semua berada pada shiratal mustaqim (jalan yang
lurus)” (Tafsir Al Qurthubi, 1/60).
Abdullah bin Mas’ud
radhiyallahu’anhu berkata: “…Kami tidak akan tersesat selama kami tetap
berpegang teguh dengan atsar (Pen: Perkataan ataupun perbuatan yang disandarkan
kepada Sahabat ataupun Tabiin).” (lihat Da’a’im Minhaj Nubuwwah, hal. 46)
Muhammad bin Sirin
rahimahullah berkata, “Para ulama kita dahulu senantiasa mengatakan: Apabila
seseorang itu berada di atas atsar, maka itu artinya dia berada di atas jalan
yang benar.” (lihat Da’a’im Minhaj Nubuwwah, hal. 47).
SYARAT MENGIKUTI
Para ulama memberikan
syarat agar ucapan sahabat bisa dipakai untuk berhujjah dengan beberapa syarat
yaitu:
Dalam persoalan
ijtihadiyah, adapun ucapan mereka dalam hal yang tidak boleh berijtihad maka ia
dihukumi marfu’ (bersumber dari Nabi)
Tidak ada seorangpun
sahabat yang menyelisihi pendapatnya. Karena apabila ucapan sahabat tidak
diselisihi oleh sahabat yang lain maka secara otomatis itu menunjukkan bahwa
yang diucapkan oleh sahabat tadi adalah benar, sehingga sahabat yang lain
mendiamkannya. Dan apabila ternyata ada perselisihan dengan sahabat lainnya
maka seorang mujtahid harus berijtihad untuk menguatkan salah satu pendapat
mereka.
Selain itu pendapat
tersebut tidak boleh bertentangan dengan nash/dalil yang tegas dari al-Qur’an
atau hadits. Poin kedua dan poin ketiga adalah dua hal yang tidak bisa
dipisahkan. Karena apabila ada seorang sahabat yang menentang nash maka sudah
pasti akan ada sahabat lain yang menentang pendapatnya itu.
Fatwa tersebut sudah
sangat populer di kalangan para sahabat sehingga tidak ada sahabat lain yang
menyelisihinya. Apabila suatu pendapat termasuk kategori ini maka dia tergolong
ijma’/kesepakatan yang harus diikuti menurut pendapat jumhur ulama.
Tidak boleh
bertentangan dengan qiyas/analogi yang benar. Perlu dicatat bahwasanya ucapan
sahabat yang telah disepakati oleh para imam untuk dijadikan sebagai hujjah
tidak mungkin bertentangan dengan analogi. Akan tetapi jika (seandainya !!)
memang ada ucapan mereka yang bertentangan dengan analogi maka kebanyakan ulama
memilih untuk tawaquf/diam. Karena tidak mungkin seorang sahabat menyelisihi
analogi berdasarkan ijtihad dirinya sendiri. Walaupun begitu, menurut mereka
perkataan sahabat yang bertentangan dengan analogi itu tetap harus didahulukan
daripada analogi. Karena ucapan sahabat adalah nash/dalil tegas. Sedangkan
dalil tegas harus didahulukan daripada analogi !! (lihat Ma’alim Ushul Fiqih
‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, DR. Muhammad bin Husein Al Jizani
hafizhahullah, hal. 222-225).
PERINGATAN BAGI YANG TIDAK MAU MENGIKUTI
(INGKAR), ATAU BAHKAN MENCELA SUNNAH KULAFAUR RASYIDIN (SAHABAT NABI SAW)
Imam Abu Hatim Ar Razi
Rah.a berkata: “Di antara ciri ahli bid’ah adalah mencela ahli atsar!” (Ashlu Sunnah hal 24.).
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُوْلَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ
لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهِ مَا
تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيْرًا
“Dan barangsiapa yang
menentang/memusuhi Rasul sesudah nyata baginya al-hidayah (kebenaran) dan dia
mengikuti selain jalannya orang-orang mu’min, niscaya akan Kami palingkan
(sesatkan) dia ke mana dia berpaling (tersesat) dan akan Kami masukkan dia ke
dalam jahannam dan (jahannam) itu adalah seburuk-buruk tempat kembali”.
(An-Nisa’ ayat 115)
Ibnu Taimiyyah di
muqaddimah kitabnya “Naqdlul Mantiq” telah menafsirkan ayat “jalannya
orang-orang mukmin” (bahwa) mereka adalah para sahabat.
Berdasarkan istimbath
(pengambilan; penggalian) dari ayat di atas: Ketika turunnya ayat yang mulia
ini, tidak ada orang mukmin di permukaan bumi ini selain dari para sahabat.
Maka, khithab (pembicaraan) ini pertama kali Allah tujukan kepada mereka.
Mafhumnya, bahwa orang-orang mukmin yang sesudah mereka (para sahabat) dapat
masuk ke dalam ayat yang mulia ini dengan syarat mereka mengikuti jalannya
orang-orang mukmin yang pertama yaitu para sahabat. Jika tidak, berarti mereka
telah menyelisihi jalannya orang-orang mukmin sebagaimana ketegasan firman
Allah di atas.